Sabtu, 14 Mei 2011

Kisah Wanita yang di Sholatkan oleh Rasulullah

Kisah Wanita yang di Sholatkan oleh Rasulullah

Dari Abu Hurairah bahwa ada seorang wanita yang berkulit hitam bernama Ummu Mahjan yang biasanya membersihkan masjid, suatu ketika Rasulullah merasa kehilangan dia, lantas beliau bertanya tentangnya. Para sahabat lalu berkata, “Dia telah wafat.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka menganggap bahwa kematian Ummu Mahjan itu adalah hal yang sepele.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menyalatkannya, lalu bersabda:

“Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.”( HR An-Nasa’i)

Semoga Allah merahmati Ummu Mahjan r.ha yang sekalipun beliau seorang yang miskin dan lemah, akan tetapi beliau turut berperan sesuai dengan kemampuannya. Beliau adalah pelajaran bagi kaum muslimin dalam perputaran sejarah bahwa tidak boleh menganggap sepele suatu amal sekalipun kecil.

Oleh karena itu ia mendapatkan perhatian dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia wafat. Sehingga beliau menyalahkan para shahabat Beliau yang tidak memberitahukan kepada beliau perihal kematiannya agar beliau dapat mengantarkan Ummu Mahjan ke tempat tinggalnya yang terakhir di dunia. Bahkan tidak cukup hanya demikian namun beliau bersegera menuju kuburnya untuk menshalatkannya.

Baca Selengkapnya »»

Kecupan Kasih Sayang

Kecupan Kasih Sayang
Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.

Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan. Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu:

قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ : لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.

“Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5999)


Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang. Pun yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya.

Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin ‘Ali, sementara Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318)

Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak maupun selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 15/77)
Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

جَاءَ أَعْرَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

“Seorang Arab gunung datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengatakan, “Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari qalbumu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5998 dan Muslim no. 2317)

Itulah penekanan beliau, sementara gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha. Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ . قَالَتْ : وَكَانَ النَّبْيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ . وَأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ فِيْ مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ، فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا، وَأَسَرَّ إِلَيْهَا، فَبَكَتْ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا، فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ لِلنِّسَاءِ : إِنْ كُنْتُ لأَرَى أَنَّ لِهَذِهِ الْمَرْأَةِ فَضْلاً عَلَى النِّسَاءِ، فَإِذَا هِيَ مِنَ النِّسَاءِ ! بَيْنَمَا هِيَ تَبْكِي إِذَا هِيَ تَضْحَكُ ! فَسَأَلْتُهَا : مَا قَالَ لَكَ ؟ قَالَتْ : إِنِّي إِذًا لَبَذِرَةٌ ! فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنِّي مَيِّتٌ )) فَبَكَيْتُ ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنَّكِ أَوَّلَ أَهْلِي بِي لُحُوْقًا )) فَسَرَرْتُ بِذَلِكَ فَأَعْجَبَنِي .

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangannya, lalu mencium beliau. Suatu saat, Fathimah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya hingga Fathimah tertawa. Maka aku berkata pada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dia dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan padamu saat itu?’ Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’ Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan padaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.725)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah radhiallahu ‘anha:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ

“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (Shahih, HR. Muslim no. 2316)

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim, 15/76)

Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu ‘anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sakit panas. Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:

فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟

“Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah ‘Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?‘.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3918)

Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apa lagikah yang menggayuti seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=167

Baca Selengkapnya »»

Tempuhlah Jalan Menuju Kebahagiaan! Waspadai Jalan Menuju Kebinasaan!

Tempuhlah Jalan Menuju Kebahagiaan! Waspadai Jalan Menuju Kebinasaan!
( Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah)

Perhatikanlah -wahai saudaraku- bimbingan ini! Takutlah engkau akan ringannya timbangan amalanmu! Takutlah engkau akan diberikannya catatan amalan engkau dari arah kiri, karena sesungguhnya itu semua adalah musibah yang besar, maka bersemangatlah engkau untuk menjalani sebab-sebab (amalan) yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan dan keberhasilan, yang bisa memberatkan timbangan amalanmu, dan diberikannya catatan amalanmu dari arah kanan, sehingga engkau menjadi orang yang sukses dan berhasil.

Kehidupan dunia ini adalah tempat untuk mengkoreksi diri, maka koreksilah diri engkau, lihatlah senantiasa amalan-amalan engkau siang dan malam sampai engkau meninggal, jika seandainya engkau adalah orang yang terus istiqamah, maka panjatkanlah puji kepada Allah dan bersyukurlah kepada-Nya, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu, mohonlah taufiq dan tsabat kepada Rabb engkau. Adapun jika engkau telah mengurangi dan menghilangkan sebagian amalan ketaatan engkau, maka koreksilah diri engkau, bertaubatlah kepada Allah dan istiqamahlah di atasnya, kembalilah kepada amalan-amalan kebajikan yang dulu engkau menyepelekannya, beristiqamahlah untuk menjalankan perintah-perintah Allah, jauhilah larangan-larangan-Nya dengan bersumber dari niatan yang jujur, keikhlasan kepada Allah, dan dengan mengharap keutamaan yang ada di sisi Allah, serta sikap yang jujur.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Maka kejujuran itu adalah suatu keharusan.


فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْراً لَهُمْ.

“Jikalau mereka jujur (imannya) kepada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)

Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman di akhir surat Al-Ma’idah:

هَذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka, bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119)

Inilah keadaan orang-orang yang jujur, orang-orang yang jujur kepada Allah dalam menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya dan meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh-Nya, jujur dalam kesungguhannya untuk berbuat kebajikan dan bersegeranya dalam mengerjakan kebajikan tersebut, jujur dalam beramar ma’ruf nahi munkar, saling menasehati dalam kebenaran dan menjalankan nasihat Lillah (dengan cara menunaikan hak-hak Allah ‘azza wajalla, pent) dan menjalankan nasihat bagi hamba-hamba Allah (dengan cara menunjukkan kepada mereka jalan-jalan kebaikan, pent).

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh untuk berjihad melawan hawa nafsunya, dia akan mendapatkan kesudahan yang baik, akhir yang terpuji, serta keberuntungan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang telah menyia-nyiakan dan tidak mempedulikannya, maka dia akan menyesal di kemudian hari.

Maka wajib bagi engkau untuk selalu mengingat dan mengkoreksi diri setiap malam dan siang: Apa saja yang telah engkau perbuat!? Apa saja kekurangan engkau!? Sehingga engkau mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibanmu.

Berhati-hatilah dari teman bergaul yang jelek yang bisa menjauhkan engkau dari kebaikan dan membantu engkau untuk berbuat kejelekan. Wajib bagi engkau untuk bergaul dengan orang-orang baik yang jika engkau ingat, mereka akan membantumu, dan jika engkau lupa mereka akan mengingatkanmu dengan kebaikan dan bersungguh-sungguh di dalamnya bersamamu, mereka akan menabahkan hati engkau, membantu, dan memberi semangat kepada engkau untuk selalu berbuat baik.

Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang yang baik, karena seseorang itu dinilai dari agama teman duduknya dan teman karibnya, maka bersemangatlah untuk berteman dengan orang-orang baik yang akan membantu engkau dalam kebaikan dan mengingatkan engkau jika lupa, serta akan memberikan semangat jika engkau malas.

Wajib bagi engkau untuk berteman dengan orang-orang baik, berhati-hatilah dari bergaul dengan orang-orang jelek yang akan menjauhkan engkau dari kebaikan dan menyeret engkau kepada kejelekan. Berhati-hatilah dari berteman dengan mereka.

Seorang mukmin itu sesuai dengan keadaannya, jika dia memberikan nasehat lillah (untuk menunaikan hak-hak Allah) dan li’ibadihi (menunjukkan jalan-jalan kebaikan kepada hamba-hamba Allah), serta berteman dengan orang-orang yang baik, maka dia akan bahagia dengan kebahagiaan yang sangat, dan jika dia menyepelekannya dan bahkan membuang itu semua, maka dia menyesal dengan penyesalan yang sangat. Dan engkau -wahai hamba Allah-, berakhlaklah dengan akhlak mukminin dan senantiasalah engkau untuk berakhlak demikian.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.

“Dan adalah orang-orang yang beriman baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan menegakkan shalat dan menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan mendapatkan rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى ، قيل : يا رسول الله ! من يأبى !؟ قال : من أطاعني دخل الجنة ، ومن عصاني فقد أبى.

“Seluruh ummatku akan masuk al-jannah kecuali orang-orang yang enggan. Maka dikatakan kepada beliau: Wahai Rasulullah siapa orang-orang yang enggan itu? Beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku, maka dia akan masuk al-jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.”

Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan masuk al-jannah dan sukses meraih kebahagiaan. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah enggan (untuk masuk al-jannah) dan menyebabkan kemurkaan Allah dan adzab-Nya.

Maka yang wajib adalah berhati-hati dan bersungguh-sungguh berjihad melawan hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ.

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Kami, maka sungguh-sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah bersama-sama orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut: 69).

Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ.

“Dan benar-benar Kami akan menguji kalian sampai Kami tahu siapa yang benar-benar berjihad dan sabar di antara kalian dan akan Kami kabarkan keadaan kalian.” (Muhammad: 31).

Maka sudah seharusnya seseorang itu untuk selalu bersungguh-sungguh dan bersabar. Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.

“Barangsiapa bersungguh-sungguh maka sesungguhya dia telah bersungguh-sungguh untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan sesuatupun dari alam semesta ini.” (Al-’Ankabut: 6).

Bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau sendiri, semoga engkau mendapatkan keberuntungan. Posisi engkau dalam keadaan terancam bahaya karena dunia ini adalah negeri (tempat) yang membahayakan, negeri penuh dengan tipuan dan fitnah.

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ.

“Dan tidaklah dunia itu kecuali hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ.

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah ujian bagimu.” (At-Taghabun: 15).

Sesungguhnya engkau berada di negeri (tempat) yang menipu, penuh dengan fitnah (ujian), syahwat, negeri yang mengajak manusia untuk mengerjakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah ‘azza wajalla, maka wajib bagi engkau untuk berhati-hati selama engkau masih hidup di dunia ini, bersungguh-sungguhlah untuk berjihad melawan hawa nafsu engkau, bersabarlah dalam menjalankan ketaatan kepada Rabb engkau, jauhilah segala bentuk maksiat kepada-Nya, tetaplah bersama dengan orang-orang yang baik dan jauhilah teman bergaul yang jelek. Inilah jalan menuju kebahagiaan, jalan menuju keberhasilan, jalan menuju kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan bagi seseorang, maka Allah akan memberikan kepahaman dalam agama kepadanya.”

Maka wajib bagi engkau untuk mempelajari ilmu syar’i serta berupaya untuk memahami dan berilmu tentang agama ini.

Muhadharah Asy-Syaikh dengan judul “Asbabu Ats-Tsabat Amamal Fitan”

Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=857

Baca Selengkapnya »»

Memasak Sambil Dengar Murattal


Memasak Sambil Dengar Murattal


بسم الله الرحمن الرحيم

Saya menghabiskan berjam-jam waktu di dapur guna menyiapkan (memasak dan sebagainya) hidangan untuk suami. Karena saya bersemangat mengisi waktu saya dengan sesuatu yang berfaedah, saya pun mengerjakan tugas saya sambil mendengarkan bacaan Al-Qur`anul Karim, baik lewat siaran radio ataupun dari kaset. Apakah perbuatan saya ini bisa dibenarkan atau tidak sepantasnya saya lakukan mengingat firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (Al-A’raf: 204)

Jawab:

Fadhilatus Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

“Tidak mengapa mendengarkan Al-Qur`an dari radio atau dari tape recorder sementara yang mendengarkan tengah sibuk dengan suatu pekerjaan. Dan ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا, karena inshat (diam memerhatikan) yang dituntut di dalam ayat adalah sesuai dengan kemampuan. Dan orang yang sedang mengerjakan suatu pekerjaan, ia inshat ketika Al-Qur`an dibacakan sesuai dengan kemampuannya.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal.578)

(Sumber: Majalah Asy-Syari’ah No.36/III/1428 H/2007; Rubrik Sakinah; Katagori: Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah; halaman 88 s.d. 89

Baca Selengkapnya »»

Ummmu Salamah

Ummu Salamah
Kecantikan dan kemuliaan berpadu dalam dirinya. Cinta, kesetiaan dan ketaatannya pada pendamping hidupnya membawanya untuk memperoleh sebentuk doa. Doa yang berbuah keindahan hidup tiada tara, bersisian dengan hamba Rabb-nya yang paling mulia. Hindun bintu Abi Umayyah bin Al-Mughirah bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah Al-Qurasyiyyah Al-Makhzumiyyah radhiyallahu ‘anha. Dia lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Salamah. Dia seorang istri yang penuh cinta bagi suaminya, Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdil Asad bin Hilal bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’b Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu. Dalam beratnya cobaan dan gangguan, mereka meninggalkan negeri Makkah menuju Habasyah untuk berhijrah, membawa keimanan. Di negeri inilah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha melahirkan anak-anaknya, Salamah, ‘Umar, Durrah dan Zainab.
Tatkala terdengar kabar tentang Islamnya penduduk Makkah, mereka pun kembali bersama kaum muslimin yang lain. Namun, ternyata semua itu berita hampa semata, hingga mereka pun harus beranjak hijrah untuk kedua kalinya menuju Madinah. Di sanalah mereka membangun hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Selang beberapa lama di Madinah, seruan perang Badr bergema. Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu masuk dalam barisan para shahabat yang terjun dalam kancah pertempuran. Begitu pula ketika perang Uhud berkobar, Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu ada di sana, hingga mendapatkan luka-luka.

Tak lama Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berdampingan dengan kekasihnya, karena Abu Salamah harus kembali ke hadapan Rabb-nya akibat luka-luka yang dideritanya. Ummu Salamah melepas kepergian Abu Salamah pada bulan Jumadits Tsaniyah tahun keempat Hijriyah dengan pilu. Dia mengatakan, “Siapakah yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah?” Berulang kali dia berucap demikian, hingga akhirnya diucapkannya doa yang pernah diajarkan oleh kekasihnya, Abu Salamah, jauh hari sebelum Abu Salamah tiada. Kala itu, Ummu Salamah berkata kepada suaminya, “Aku telah mendengar bahwa seorang wanita yang suaminya tiada, dan suaminya itu termasuk ahli surga, kemudian dia tidak menikah lagi sepeninggalnya, Allah mengumpulkan mereka berdua di surga. Mari kita saling berjanji agar engkau tidak menikah lagi sepeninggalku dan aku tidak akan menikah lagi sepeninggalmu.” Mendengar perkataan istrinya, Abu Salamah mengatakan, “Apakah engkau mau taat kepadaku?” Kata Ummu Salamah, “Ya.” Abu Salamah berkata lagi, “Kalau aku kelak tiada, menikahlah! Ya Allah, berikan pada Ummu Salamah sepeninggalku nanti seseorang yang lebih baik dariku, yang tak akan membuatnya berduka dan tak akan menyakitinya.” Waktu terus berjalan. Ummu Salamah pun telah melalui masa ‘iddahnya sepeninggal Abu Salamah. Datang seorang yang paling mulia setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu untuk meminang Ummu Salamah. Namun Ummu Salamah menolaknya. Setelah itu, datang pula Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, menawarkan pinangan pula ke hadapan Ummu Salamah. Kembali Ummu Salamah menyatakan penolakannya. Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menganugerahkan sesuatu yang lebih besar daripada itu semua. Datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, membuka pintu baginya untuk memasuki rumah tangga nubuwwah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha menjawab tawaran itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang sudah cukup berumur, dan aku memiliki anak-anak yatim, lagi pula aku wanita yang sangat pencemburu.” Dari balik tabir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menanggapi, “Adapun masalah umur, sesungguhnya aku lebih tua darimu. Adapun anak-anak, maka Allah akan mencukupinya. Sedangkan kecemburuanmu, maka aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menghilangkannya.” Tak ada lagi yang memberatkan langkah Ummu Salamah untuk menyambut uluran tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bulan Syawwal tahun keempat setelah hijrah adalah saat-saat yang indah bagi Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, mengawali hidupnya di samping seorang yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Berita tentang kecantikan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha sempat meletupkan kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sangat bersedih. Dia menahan diri sampai memiliki kesempatan melihat Ummu Salamah. Tatkala datang kesempatan itu, ‘Aisyah melihat kecantikan Ummu Salamah berkali lipat daripada gambaran yang sampai padanya. Dia beritahukan hal itu kepada Hafshah radhiyallahu ‘anha. Hafshah pun menjawab, “Tidak, demi Allah. Itu tidak lain hanya karena kecemburuanmu saja. Dia tidaklah seperti yang kaukatakan, namun dia memang cantik.” ‘Aisyah pun mengisahkan, “Setelah itu, aku sempat melihatnya lagi dan dia memang seperti yang dikatakan oleh Hafshah.” Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha memulai rangkaian kehidupannya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak rentetan peristiwa dilaluinya bersama beliau. Satu dialaminya dalam Perjanjian Hudaibiyah. Kala itu, pada bulan Dzulqa’dah tahun keenam setelah hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama seribu empat ratus orang muslimin ingin menunaikan ‘umrah di Makkah sembari melihat kembali tanah air mereka yang sekian lama ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha turut menyertai perjalanan beliau ini. Namun setiba beliau dan para shahabat di Dzul Hulaifah untuk berihram dan memberi tanda hewan sembelihan, kaum musyrikin Quraisy menghalangi kaum muslimin. Dari peristiwa ini tercetuslah perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu di antaranya berisi larangan bagi kaum muslimin memasuki Makkah hingga tahun depan. Betapa kecewanya para shahabat saat itu, karena mereka urung memasuki Makkah. Usai menyelesaikan penulisan perjanjian itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun memerintahkan kepada para shahabat, “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian, kemudian bercukurlah!” Namun tak satu pun dari mereka yang bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulangi perintahnya hingga ketiga kalinya, namun tetap tak ada satu pun yang beranjak. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dan menceritakan apa yang terjadi. Ummu Salamah pun memberikan gagasan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar mereka melakukannya? Bangkitlah, jangan berbicara pada siapa pun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, kemudian segera melaksanakan usulan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Seketika itu juga, para shahabat yang melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallammenyembelih hewannya dan menyuruh seseorang untuk mencukur rambutnya serta merta bangkit untuk memotong hewan sembelihan mereka dan saling mencukur rambut, hingga seakan-akan mereka akan saling membunuh karena riuhnya. Semenjak bersama Abu Salamah radhiallahu ‘anhu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meraup banyak ilmu. Terlebih lagi setelah berada dalam naungan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di bawah bimbingan nubuwwah, Ummu Salamah mendulang ilmu. Juga dari putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Fathimah radhiyallahu ‘anha. Ummu Salamah menyampaikan apa yang ada pada dirinya hingga bertaburanlah riwayat dari dirinya. Tercatat deretan panjang nama-nama ulama besar dari generasi pendahulu yang mengambil ilmu darinya. Dia termasuk fuqaha dari kalangan shahabiyah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha telah melalui rentang panjang masa hidupnya dengan menebarkan banyak faidah. Masa-masa kekhalifahan pun dia saksikan hingga masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Pada masa inilah terjadi pembunuhan cucu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Ummu Salamah sangat berduka mendengar berita itu. Dia benar-benar merasakan kepiluan. Tak lama setelah itu, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha kembali menghadap Rabb-nya. Tergurat peristiwa itu pada tahun keenam puluh satu setelah hijrah. Terkenang selalu kesetiaan yang pernah dia berikan bagi pendamping hidupnya. Terngiang selalu sebutan namanya dalam kitab-kitab besar para ulama. Ummu Salamah, semoga Allah meridhainya…
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber bacaan :
1 Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, hal. 150-152
2 Shahihus Sirah an-Nabawiyah, Ibrahim Al-‘Aly, hal. 323
3 Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 202-210
4 Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi, hal. 317-319

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.

Baca Selengkapnya »»