Senin, 07 September 2009

Kapankah Anak Diajari Agama?


Kapankah Anak Diajari Agama?
Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

Tanya: Pada usia berapa anak sudah harus saya ajarkan tentang perkara agama?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pengajaran terhadap anak sudah harus dimulai ketika mereka telah mencapai usia tamyiz1. Tentunya dimulai dengan tarbiyah diniyah (pendidikan agama), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.”2

Bila anak telah mencapai usia tamyiz, orangtuanya diperintah untuk mengajarinya dan mentarbiyahnya di atas kebaikan, dengan mengajarinya Al-Qur`an dan hadits-hadits yang mudah. Mengajarinya hukum-hukum syariat yang cocok dengan usia si anak, misalnya bagaimana cara berwudhu dan bagaimana cara shalat. Si anak juga diajari dzikir-dzikir ketika mau tidur, bangun tidur, ketika hendak makan, minum, dan sebagainya. Selain itu, anak dilarang melakukan perkara-perkara yang tidak pantas serta diterangkan kepadanya bahwa perkara tersebut tidak boleh ia lakukan, seperti berdusta, namimah, dan selainnya. Hingga si anak terdidik di atas kebaikan dan terdidik untuk meninggalkan kejelekan sejak kecilnya.

Kenapa pengajaran ini dilakukan pada usia tamyiz? Karena pada usia ini, si anak bisa menalar apa yang diperintahkan kepadanya dan apa yang dilarang. Urusan pengajaran anak ini sangatlah penting. Namun sayangnya sebagian manusia lalai melakukannya terhadap anak-anak mereka.

Mayoritas orang tidak mementingkan perkara anak-anak mereka. Tidak mengarahkannya dengan arahan yang baik, bahkan membiarkan mereka tersia-siakan dari sisi tarbiyah diniyyah. Sehingga si anak tidak diperintah mengerjakan shalat dan tidak dibimbing kepada kebaikan, bahkan dibiarkan tumbuh di atas kebodohan dalam perkara agamanya serta terbiasa melakukan perbuatan yang tidak baik. Anak-anak dibiarkan bercampur-baur dan bergaul dengan orang-orang yang jelek, berkeliaran di jalan-jalan, menyia-nyiakan pelajaran mereka (enggan untuk belajar) serta kemudaratan lainnya, yang mana kebanyakan para pemuda muslimin tumbuh di atasnya disebabkan sikap masa bodoh orangtua mereka. Padahal para orangtua ini akan ditanya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Apa yang diperintahkan dalam hadits di atas adalah pembebanan kepada para orangtua yang harus mereka tunaikan. Dengan begitu, orangtua yang tidak menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat pada umur yang telah disebutkan berarti ia telah bermaksiat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.3 Ia telah melakukan keharaman dan meninggalkan kewajibannya yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيًّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.”4

Sangat disesalkan, sebagian orangtua sibuk dengan perkara dunianya hingga mengabaikan anak-anaknya. Tidak pula mereka menyempatkan waktunya untuk anak-anaknya. Seluruh waktunya tersita untuk perkara-perkara dunia. Kejelekan yang besar ini banyak dijumpai di negeri muslimin, yang menjadi sebab buruknya tarbiyah anak-anak mereka. Jadilah anak-anak tersebut tidak baik agama dan dunianya. La haula wala quwwata illa billahil ‘azhim. (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Agung.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 115-116)

Footnote:

1 Belum baligh, namun sudah bisa menalar dan memahami ucapan serta dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (–pent)
2 HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil, no. 247.
3 Tidak patuh dan taat kepada perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan dalam firman-Nya:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka berhenti (tinggalkan)lah.” (Al-Hasyr: 7)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:
ماَ نَهَيْتُُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa yang aku larang kalian darinya, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) –pent.
4 HR.Al-Bukhari dan Muslim

Maroji` : www.asysyariah.com

Baca Selengkapnya »»

Ibarat Mengukir di Atas Batu


Ibarat Mengukir di Atas Batu
Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.

Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:

مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ

“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ

“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.

“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)

Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.

2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.

3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia

Baca Selengkapnya »»

Ma`afkan Kami


Asssalamu`alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Alhamdulillah Segala Puji Bagi Alloh ta`ala yang telah memberi kita kenikmatan berupa hidayah dan istiqomah di atas al haq. Salam serta sholawat kepada nabi kita yaitu Rosululloh shalalalhu `alaihi wassalam.

Sungguh kami abu aiman wa ummu harits merasa tidak enak ketika tidak bisa hadir dalam beberapa bulan ini. Selama beberapa bulan ini kami berpindah lagi kembali ke Lumajang untuk diamanahi membantu di Ma`had Tahfidzul Qur`an Lil Abna` sehingga kami belim dita`dirkan oleh-Nya untuk hadir di blog kita ini. Sungguh kami minta ma`af atas hal ini. Dan kami do`anya agar kami dapat senantiasa menjaga amanah dan dapat teru hadir di bloh yang sederhana ini. Jazakumulloh khoiron katsiron.

Selain itu kami mengharapkan dengan sangat janganlah blog kita ini dikirimi gambar ataupun foto makhluk hidup semisal foto diri ataupun hewan maupun yang semisal dengan itu. Bukankah telah jelas larangan dari nabi kita bahwa kita dilarang membuat gambar yangberupa makhluk hidup. Apabila antun ungun mengirimnya tidak mengapa asalakan tidak melanggar larangan anabi tadi. Tafadhol antum mengirimnya tanpa fotodiri atau gantilah dengan lainnya seperti foto tumbuhan atau bulan atau semisalnya. Jazakumulloh khoiron katsiron.

Hanya inilah yang bisa kami sampaikan kepada antum wahai abi wa ummi serta anak-anakku sekalian, semoga hubungan kita sebagai sesama muslim tidak terputus dan apa yang kami harapkan dapat menjadi kenyataan karena sesungguhnya agama itu adalah nasihat Amin.

Wa`alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh

Baca Selengkapnya »»

Senin, 11 Mei 2009

Zaitun

Mengenal Zaitun

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zaitun

Zaitun (Olea europaea) adalah pohon kecil tahunan dan hijau abadi, yang buah mudanya dapat dimakan mentah ataupun sesudah diawetkan sebagai penyegar. Buahnya yang tua diperas dan minyaknya diekstrak menjadi minyak zaitun yang dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan. Zaitun dikelompokkan ke dalam suku Oleaceae.
Ciri-ciri dan distribusi

Tanaman zaitun memiliki ciri-ciri di antaranya:


* tumbuh sebagai perdu mempunyai bunga berbentuk lonceng
* daun tunggal dengan kedudukan berhadapan tanpa daun penumpu
* bunga banci atau berkelamin tunggal dan buah menumpang
* buahnya berupa buah batu dengan biji memiliki endosperma

Zaytun mulai berbuah saat berumur lima tahun dan usianya dapat mencapai ribuan tahun, sehingga yang tadinya perdu telah menjadi pohon besar. Pohon zaitun yang berumur ribuan tahun di antaranya pernah ditemukan di Palestina yang bertahan hidup hingga 2000 tahun.

Distribusinya meliputi daerah-daerah iklim panas sampai iklim sedang. Kebanyakan jenisnya dapat ditemui di Asia dan daerah Laut Tengah. Tumbuhan ini masih berkerabat dengan melati (Jasminum sambac).

Simbol dan Manfaat

Tangkai zaitun berdaun sering dipakai sebagai lambang perdamaian dan telah lama menjadi bagian kebudayaan Barat. Di dalam masyarakat ini dahan zaitun menjadi lambang perdamaian dan telah ditanam sejak ratusan tahun yang lalu untuk diambil buahnya yang sedap. Dari filosofi tersebut dapat kita ambil intisari bahwa dengan tumbuhnya zaitun akan membawa perdamaian.

Banyak manfaat dari pohon zaitun ini. Selain buahnya yang enak, kayu dari pohon zaitun juga sangat bagus, keras dan indah. Selain untuk dimakan buah zaitun juga digunakan sebagai penyedap makanan. Apabila diperas buahnya, kita dapat memperoleh minyaknya. Minyak ini dapat digunakan sebagai bumbu salad dan belakangan banyak digunakan untuk bahan kosmetik yang dapat menjaga kelembaban dan kekencangan kulit sehingga diyakini dapat menjadikan kulit awet muda.

___________________________________________

Sumber : http://indo-sehat.blogspot.com/2008/02/khasiat-zaitun.html

Zaitun sejak lama terkenal dengan khasiatnya untuk kesehatan, diantaranya :Meningkatkan metabolisme Makan 1/2 cup buah zaitun setiah hari dapat mencegah kegemukan. Khasiat ini berasal dari lemak tak jenuh tunggal yang mempercepat pembakaran lemak dan mencegah gula diubah menjadi lemak. Selain itu, sebuah dalam British Journal of Nutrition menemukan, asam lemak tak jenuh tunggal menstimulir cholecysto kini, sejenis hormon penekan nafsu makan yang mengirim sinyal kenyang ke otak.

Merevitalisasi sistem imun Zaitun kaya dengan vitamin E larut lemak, yang melindungi sel-sel dari radikal-radikal bebas yang berbahaya. Antioksidan ini menguatkan sistem imun, mengurangi penyakit seperti pilek dan flu sampai 30%, begitu menurut para periset di Tufts University di Boston.

Menghaluskan Kulit Makan buah zaitun yang merupakan sumber terkaya oleic acid, membantu mengurangi tampilan garis-garis halus. Asam lemak ini dapat mengenyalkan kulit dan melindungi elastin kulit dari kerusakan.

Meningkatkan sirkulasi Zaitu adalah sumber istimewa dari polyphenols, senyawa antioksidan yang membantu mencegah penggumpalan darah yang berbahaya. Sebuah studi dalam Journal of American College of Cardiology mengaitkan senyawa ini dengan peningkatan kadar nitric oxide, molekul jantung sehat yang meningkatkan pelebaran pembuluh darah dan aliran darah.

Baca Selengkapnya »»

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Mendirikan Ka’bah

Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail Mendirikan Ka’bah


Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam untuk membangun Baitul ‘Atiq, yaitu masjid yang diperuntukkan bagi manusia untuk mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala.


Allah kemudian menunjukkan kepada Nabi Ibrahim, di mana hendaknya bangunan tersebut dibangun. Allah menunjuki Nabi Ibrahim lewat wahyu yang diturunkan kepadanya.

Para ulama salaf mengatakan bahwa di setiap tingkat langit terdapat sebuah rumah. Penduduk langit tersebut beribadah kepada Allah di rumah tersebut. Oleh karena itulah, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam membuat bangunan seperti itu pula di muka bumi.

Bagaimanakah kisah pembangunan Ka’bah oleh Nabi Ibrahim yang dibantu oleh putra beliau Nabi Ismail ini? Kisahnya agak panjang. Kita mulai sekarang ya…

Dahulu, Nabi Ibrahim ‘alahi salam membawa istrinya Hajar dan putra beliau Ismail ke daerah Makkah. Pada saat itu, Hajar dalam keadaan menyusui putranya.

Nabi Ibrahim kemudian menempatkan Hajar dan Ismail ke sebuah tempat di samping pohon besar. Pada saat itu, di tempat tersebut tidaklah terdapat seorang pun dan tidak pula ada air. Nabi Ibrahim kemudian meninggalkan keduanya beserta geribah yang di dalamnya terdapat kurma, serta bejana yang berisi air.

Ketika Nabi Ibrahim hendak pergi, Hajar mengikuti beliau seraya bertanya, “Wahai Ibrahim, ke manakah engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami padahal di lembah ini tidak terdapat seorang pun dan tidak ada makanan apa pun?”

Hajar mengucapkannya berkali-kali, namun Nabi Ibrahim tidak menghiraukannya. Hajar kemudian bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan engkau berbuat ini?” Nabi Ibrahim kemudian menjawab, “Iya.” Hajar lalu berkata, “Dia tidak akan membiarkan kami.” Hajar kemudian kembali.

Di daerah Tsaniah, ketika sosok beliau hilang dari pandangan keluarga yang beliau tinggalkan, Nabi Ibrahim berdoa,

“Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Rabb Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Padang pasir

Ketika persedian air mereka habis, Hajar pun mencari air untuk dia dan putranya. Dia pergi ke bukit Shafa, mencari-cari adakah orang di sana, namun dia tidak menemukan siapa pun di sana.

Hajar pun kemudian pergi ke Marwah dan mencari-cari orang pula di sana. Dia juga tidak mendapati seorang pun.

Hajar berulang-ulang pergi dari Shafa ke Marwah, sebaliknya dari Marwah ke Shafa sampai tujuh kali. Oleh karena itu, di dalam ibadah haji ada yang namanya Sai, yaitu berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwa dan sebaliknya sampai tujuh kali.

Sampai ke Marwah, Hajar mendengar suara. Lalu dia berkata, “Diamlah”. Dia mendengar suara itu, lalu mencari sumber suara itu dan berkata, “Aku telah mendengarmu, apakah engkau dapat memberikan bantuan?”

Ternyata dia berada bersama malaikat di tempat di mana terdapat air zam-zam. Lalu, malaikat itu mengais-ngais tanah hingga akhirnya muncul air. Selanjutnya, ia pun menuruni air tersebut, mengisi bejananya dan kembali ke putranya Ismail, kemudian menyusuinya.

Malaikat lalu berkata kepada Hajar, “Janganlah engkau takut disia-siakan, karena di sini akan dibangun sebuah rumah oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya”

Setelah beberapa waktu berlalu, serombongan suku Jurhum datang ke tempat tersebut dan tinggal di sekitar air zam-zam bersama Hajar dan Ismail. Ini semua mereka lakukan atas izin dari Hajar.

Nabi Ismail pun beranjak dewasa dan belajar Bahasa Arab dari Suku Jurhum tersebut. Beliau juga menikah dengan salah seorang wanita mereka. Diceritakan pula bahwa Hajar kemudian meninggal dunia.

Pada suatu saat, Nabi Ibrahim datang ingin menjenguk Nabi Ismail ‘alaihimassalam. Namun, beliau hanya menemui istri Nabi Ismail saja.

Nabi Ibrahim bertanya kepada wanita tersebut ke mana kiranya Nabi Ismail pergi. Istrinya menjawab, “Dia sedang mencari nafkah untuk kami.”

Nabi Ibrahim lalu bertanya tentang keadaan mereka. Istri Nabi Ismail menjawab, “Kami dalam kondisi yang jelek dan hidup dalam kesempitan dan kemiskinan.”

Mendengar jawaban tersebut, sebelum pulang Nabi Ibrahim berpesan kepada wanita itu untuk menyampaikan salam kepada Nabi Ismail dan berpesan agar Nabi Ismail mengganti pegangan pintunya.

Setelah Nabi Ismail kembali ke rumah, istrinya pun menceritakan peristiwa tadi dan menyampaikan pesan Nabi Ibrahim kepada suaminya.

Mendengar hal tersebut, Nabi Ismail pun berkata kepada istrinya, “Itu tadi adalah bapakku. Ia menyuruhku untuk menceraikanmu, maka kembalilah engkau kepada orang tuamu.”

Nabi Ismail pun menceraikan istrinya tadi sesuai dengan pesan Nabi Ibrahim dan kemudian menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Jurhum juga.

Setelah beberapa waktu berlalu, Nabi Ibrahim kemudian kembali mengunjungi Nabi Ismail. Namun, Nabi Ismail tidak ada di rumah. Nabi Ibrahim pun menemui istri Nabi Ismail yang baru.

Beliau bertanya dimana Nabi Ismail sekarang. Istrinya menjawab bahwa Nabi Ismail sedang mencari nafkah.

Nabi Ibrahim juga bertanya tentang keadaan mereka. Wanita itu menjawab bahwa keadaan mereka baik-baik saja dan berkecukupan, sambil kemudian memuji Allah azza wa jalla.

Nabi Ibrahim lalu bertanya tentang makanan serta minuman mereka. Wanita itu menjawab bahwa makanan mereka adalah daging, adapun minuman mereka adalah air. Maka Nabi Ibrahim mendoakan kedua hal ini, “Ya Allah berkatilah mereka pada daging dan air.”

Setelah itu, Nabi Ibrahim pun pergi dari rumah Nabi Ismail. Namun, sebelumnya beliau berpesan kepada wanita itu agar Nabi Ismail memperkokoh pegangan pintunya.

Ketika Nabi Ismail pulang, beliau bertanya kepada istrinya, “Adakah tadi orang yang bertamu?”
Istrinya menjawab, “Ada, seorang tua yang berpenampilan bagus.” Dia memuji Nabi Ibrahim.
“Ia bertanya kepadaku tentang dirimu, maka aku jelaskan keadaanmu kepadanya. Dia juga bertanya tentang kehidupan kita, dan aku jawab bahwa kehidupan kita baik-baik saja.”

Nabi Ismail kemudian bertanya, “Apakah dia memesankan sesuatu kepadamu?”

Istrinya kembali menjawab, “Ya. Ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhku mengokohkan pegangan pintumu.”

Nabi Ismail berkata, “Itu adalah ayahku dan engkau adalah pegangan pintu tersebut. Beliau menyuruhku untuk tetap menikahimu (menjagamu).”

Waktu pun berlalu. Suatu saat ketika Nabi Ismail sedang meraut anak panah, Nabi Ibrahim pun datang. Nabi Ismail pun bangkit menyambutnya, dan mereka pun saling melepaskan rindu.

Selanjutnya, Nabi Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya Allah menyuruhku menjalankan perintah.”

Ismail menjawab, “Lakukanlah apa yang diperintahkan Rabbmu.”

“Apakah engkau akan membantuku?”, Tanya Nabi Ibrahim kembali.

“Aku pasti akan membantumu.” seru Ismail.

Nabi Ibrahim kemudian menunjuk ke tumpukan tanah yang lebih tinggi dari yang sekitarnya. Beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menyuruhku membuat suatu rumah di sini.”

Pada saat itulah, keduanya kemudian meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mulai mengangkut batu, sementara Ibrahim memasangnya.

Setelah bangunan tinggi, Ismail membawakan sebuah batu untuk menjadi pijakan bagi Nabi Ibrahim. Batu inilah yang akhirnya disebut sebagai maqam (tempat berdiri) Nabi Ibrahim.

Mereka pun terus bekerja sembari mengucapkan doa, “Wahai Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sampai akhirnya tuntaslah pembangunan baitullah itu. Ka’bah pun akhirnya berdiri di bumi Allah ‘azza wa jalla.

(Sumber: Kisah-Kisah tentang Ka’bah, Penerbit Al-Ilmu)

Baca Selengkapnya »»

Hukum bersahabat dengan orang kafir

Hukum bersahabat dengan orang kafir
Penulis: Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta


Tanya:

Kepada Syaikh yang saya hormati. Pertanyaan saya adalah: kalau dimisalkan boleh kaum muslimin bersahabat dengan orang-orang non muslim. Karena masalahnya saya tinggal di negeri yang tidak banyak kaum musliminnya. Sementara teman-teman saya dari kalangan non muslimin baik-baik. Hanya saja mereka banyak melakukan kemusyrikan. Kalau saya memutus hubungan persahabatan dengan mereka, bagaimana mereka akan dapat mengenal kebenaran dan memeluk ajaran Islam? Namun di sisi lain, kalau mereka tetap saja tidak memperhatikan hidayah Islam, apakah hubungan persahabatan kami boleh tetap berlangsung?


Jawab:

Al-Hamdulillah. Allah melarang kaum mukminin untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya sebagai wali, baik dalam arti orang yang dicintai, dijadikan saudara, penolong, atau dijadikan sebagai sahabat karib, kalau mereka orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Allah berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka itulah golongan Allah.Ketahuilah, bhwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung."(QS.Al-Mujadilah : 22)

Juga firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:"Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka):"Marilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (QS.Ali Imran 118-120)

Banyak lagi nash yang senada dengan itu dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul. Namun Allah tidak melarang membalas kebaikan orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, atau saling membantu dalam hal-hal yang mubah, seperti berjual beli, saling memberi hadiah dan sejenisnya. Allah berfirman:

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah : 8)

Wabillahit Taufik.

(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz II/42. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)

Baca Selengkapnya »»

Kiat Memperlakukan Buah Hati

Kiat Memperlakukan Buah Hati
Oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin


- Pahami anak sebagai individu yang berbeda. Seorang anak dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Memiliki bakat dan minat yang berbeda pula. Karenanya, dalam menyerap ilmu dan mengamalkannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sering terjadi kasus, terutama pada pasangan muda, orangtua mengalami “sindroma” anak pertama. Karena didorong idealisme yang tinggi, mereka memperlakukan anak tanpa memerhatikan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak. Misal, anak dipompa untuk bisa menulis dan membaca pada usia 2 tahun, tanpa memerhatikan tingkat kemampuan dan motorik halus (kemampuan mengoordinasikan gerakan tangan) anak.


فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)

Kata مَا اسْتَطَعْتُمْ (semampumu) menunjukkan kemampuan dan kesanggupan seseorang berbeda-beda, bertingkat-tingkat, satu dengan lainnya tidak bisa disamakan. Ini semua karena pengaruh berbagai macam latar belakang.

- Memberi tugas hendaklah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

- Berusahalah untuk selalu menghargai niat, usaha dan kesungguhan anak. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tapi Allah melihat kepada hati (niat) dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Jangan mencaci maki anak karena kegagalannya. Tapi berikan ungkapan-ungkapan yang bisa memotivasi anak untuk bangkit dari kegagalannya. Misal, “Abi tidak marah kok, Ahmad belum hafal surat Yasin. Abi tahu, Ahmad sudah berusaha menghafal. Lain kali, kita coba lagi ya.”

- Tidak membentak, memaki dan merendahkan anak. Apalagi di hadapan teman-temannya atau di hadapan umum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An-Nisa`: 5)

- Tidak membuka aib (kekurangan, kejelekan) yang ada pada anak di hadapan orang lain. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa menutup (aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib) dirinya pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 2442)

- Jika anak melakukan kesalahan, jangan hanya menunjukkan kesalahannya semata. Tapi berilah solusi dengan memberitahu perbuatan yang benar yang seharusnya dia lakukan. Tentunya, dengan cara yang hikmah. ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كُنْتُ غُلَامًا فِي حِجْرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah Bismillah saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5376)

- Tidak memanggil atau menyeru anak dengan sebutan yang jelek. Seperti perkataan: “Dasar bodoh!” Ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ بِخَيْرٍ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

“Janganlah kalian menyeru (berdoa) atas diri kalian kecuali dengan sesuatu yang baik. Karena, sesungguhnya malaikat akan mengaminkan atas apa yang kalian ucapkan.” (HR. Muslim no. 920)

- Perbanyak ucapan-ucapan yang mengandung muatan doa pada saat di hadapan anak. Seperti ucapan:

بَارَكَ اللهُ فِيْكُمْ

“Semoga Allah memberkahi kalian.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)

Juga selalu mendoakan kebaikan bagi sang anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)

- Berusahalah untuk senantiasa berlaku hikmah dalam menghadapi masalah anak. Tidak mengedepankan emosi. Tidak mudah menjatuhkan sanksi. Telusuri setiap masalah yang ada pada anak dengan penuh hikmah, tabayyun (klarifikasi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (Al-Baqarah: 269)

- Berusahalah bersikap adil terhadap anak-anak dan berbuat baik kepadanya.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90)

- Hindari sikap-sikap dan tindakan yang menjadikan anak mengalami trauma, blocking (mogok), malas atau enggan belajar. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا

“Permudah dan jangan kalian persulit. Gembirakan, dan jangan kalian membuat (mereka) lari.” (HR. Al-Bukhari no. 69)

Wallahu a’lam.

(Sumber: www.asysyariah.com)

Baca Selengkapnya »»

Kedermawanan

Kedermawanan
Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran


Kedermawanan bukanlah semata sikap yang tumbuh dengan sendirinya pada diri seorang anak. Namun juga butuh pembiasaan sedari kecil.


Ketika anak mulai memasuki usia balita, biasanya ia mulai mengerti tentang apa itu ‘milik’. Dia mulai memahami, ada barang-barang miliknya, ada barang milik orang lain.

Namun kesadaran tentang milik ini terkadang –atau malah seringnya– disertai berkembangnya sifat ‘pelit’. Ada rasa keberatan bila dia harus memberikan sebagian miliknya kepada orang lain atau barang miliknya sekadar dipegang, dipinjam atau digunakan oleh orang lain. Yang seperti ini kadangkala menjadi biang pertengkaran si anak dengan saudara atau teman sepermainannya.


Keadaan seperti ini tentu tak dapat dibiarkan, karena sifat buruk ini bisa jadi akan terus berkembang dan melekat pada pribadi anak. Tentu kita tak ingin anak kita menjadi anak yang bakhil, karena sifat ini jelas-jelas dicela oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Kitab-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى. وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى. وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى. فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى

”Adapun orang yang memberikan hartanya dan bertakwa, serta membenarkan keyakinan yang benar berikut balasannya, maka akan Kami mudahkan baginya keadaan yang mudah. Adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya tidak butuh kepada Allah, serta mendustakan keyakinan yang benar berikut balasannya, maka akan Kami mudahkan baginya keadaan yang sukar.” (Al-Lail: 5-10)

Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا ءَاتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

”Orang-orang yang bakhil dan menyuruh orang lain untuk berbuat bakhil, serta menyembunyikan karunia yang telah Allah berikan kepada mereka, dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” (An Nisa`: 37)

Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggambarkan bagaimana beratnya seorang yang bakhil memberikan hartanya. Al-Imam Bukhari rahimahullahu meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْبَخِيْلِ وَالْـمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيْدٍ مِنْ ثَدْيِهِمَا إِلَى تَرَاقِيْهِمَا، فَأَمَّا الْـمُنْفِقُ فَلاَ يُنْفِقُ إِلاَّ سَبَغَتْ –أَوْ وَفَرَتْ– عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ، وَأَمَّا الْبَخِيْلُ فَلاَ يُرِيْدُ أَنْ يُنْفِقَ إِلاَّ لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقٍ مَكَانَهُ، فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلاَتَتَّسِعُ

”Perumpamaan orang yang bakhil dan orang yang suka berinfak seperti dua orang yang memakai jubah besi yang dia masukkan dari dada hingga kerongkongannya. Adapun orang yang suka berinfak, setiap kali dia berinfak jubahnya bertambah longgar dari kulitnya, sampai akhirnya menutupi jari-jemarinya dan menghapus jejak langkahnya (karena panjangnya, pen.). Adapun orang yang bakhil, setiap kali dia akan berinfak, maka menyempitlah baju besi itu, dia ingin melonggarkannya, tapi jubah itu tetap tidak bertambah longgar.” (HR. Al-Bukhari no. 1443)

Oleh karena itu, orangtua harus melatih anak-anak untuk menghilangkan sifat bakhil ini, disertai penanaman sifat dermawan. Anak-anak harus diajarkan, bahwa segala sesuatu yang dia miliki adalah rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberikannya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memerintahkan kita untuk bersedekah dan berbuat baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan yang lebih banyak bila kita mematuhi perintah-Nya untuk bersedekah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian sebelum datang suatu hari yang pada saat itu tidak ada jual beli, tidak ada hubungan kasih sayang dan tidak ada pula syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang dzalim.” (Al-Baqarah: 254)

Di ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan apa pun yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rizki.” (Saba`: 39)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sekuat kemampuan kalian, dengar dan taatlah kalian kepada-Nya, serta infakkanlah harta yang baik bagi diri kalian, dan barangsiapa dilindungi dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memberikan hasungan kepada kita untuk senantiasa melapangkan diri untuk memberi. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اللَّّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُوْلُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Tidak ada suatu hari yang dimasuki oleh seorang hamba, kecuali pada hari itu ada dua malaikat yang turun. Salah seorang dari mereka berdoa, ‘Ya Allah, berikan ganti pada orang yang menginfakkan hartanya.’ Yang lainnya berdoa, ‘Ya Allah, berikan kemusnahan harta pada orang yang tidak mau memberi’.” (HR. Al-Bukhari no. 1442)

Benarlah berita yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Sehingga sudah semestinya kita hasung anak-anak untuk memiliki sifat dermawan, dengan mengingatkan mereka akan doa malaikat bagi orang-orang yang berinfak.

Selain itu, bisa pula kita ceritakan, bagaimana kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita diperintah untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Tak pernah beliau menolak apabila diminta. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

مَا سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا قَطُّ فَقَالَ: لاَ.

“Tak pernah sekalipun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta sesuatu kemudian beliau mengatakan ‘tidak’.” (HR. Muslim no. 2311)

Kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sangat mengesankan siapa pun. Bahkan seseorang yang baru masuk Islam menjadi lunak hatinya dengan pemberian beliau ini, sehingga membuat dia mencintai Islam dan menjadi baik keislamannya. Diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ فَأَتَى قَوْمَهُ فَقَالَ: أَيْ قَوْمِ، أَسْلِمُوا، فَوَاللهِ إِنَّ مُحَمَّدًا لَيُعْطِي عَطَاءً مَا يَخَافُ الفَقْرَ. فَقَالَ أَنَسٌ: إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيُسْلِمُ مَا يُرِيْدُ إِلاَّ الدُّنْيَا، فَمَا يُسْلِمُ حَتَّى يَكُوْنَ الْإِسْلاَمُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

”Ada seseorang meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kambing sebanyak antara dua bukit. Beliau pun memenuhi permintaannya. Maka orang itu mendatangi kaumnya sambil berkata, ’Wahai kaumku, masuk Islamlah kalian! Sesungguhnya Muhammad itu suka memberi dengan pemberian yang dia sendiri tidak khawatir akan fakir!’ Anas mengatakan, ’Tadinya orang itu masuk Islam karena menginginkan dunia, sampai akhirnya setelah masuk Islam, Islam lebih dia cintai daripada dunia seisinya’.” (HR. Muslim no. 2312)

Sifat dermawan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak lebih menonjol saat tiba bulan Ramadhan. Karena itu, kita ajarkan pula anak-anak untuk banyak berbuat kebaikan dan banyak memberi saat bulan Ramadhan tiba. ’Abdullah bin ’Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ القُرْآنَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ n حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ

”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau. Jibril biasa menemui beliau setiap malam sepanjang bulan Ramadhan, lalu mengajari beliau Al-Qur’an. Maka ketika itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan untuk memberikan kebaikan daripada angin yang bertiup kencang.” (HR. Al-Bukhari no. 3220 dan Muslim no. 2308)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan, hadits ini memiliki beberapa faedah, di antaranya penjelasan tentang besarnya kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta disenanginya memperbanyak kedermawanan ini pada bulan Ramadhan. (Syarh Shahih Muslim, 15/68)

Biasanya, mengajarkan kebaikan pada anak bisa pula didukung dengan menyampaikan berbagai kisah yang benar. Mudah mereka mengingatnya dan membekas dalam hati. Demikian pula dalam hal mengajari mereka agar dermawan. Kisah-kisah tentang kedermawanan para sahabat radhiyallahu ‘anhumaperlu kita tuturkan pada mereka, seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang paling banyak menyerahkan harta dan persahabatannya untuk mendukung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga seperti ’Utsman bin ’Affan radhiyallahu ‘anhu yang membeli sumur Ruumah milik seorang Yahudi dengan hartanya agar bisa diambil airnya oleh kaum muslimin. Demikian pula para sahabat lain yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari kalangan wanita, ada Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang sangat gemar bersedekah sampai-sampai lupa menyisakan sedikit pun hartanya untuk berbuka puasa. Juga Ummul Mukminin Zainab bintu Khuzaimah radhiyallahu ‘anha yang dijuluki Ummul Masakin, ibunda kaum miskin, karena senantiasa mengulurkan bantuan kepada orang-orang miskin. Begitu pula Ummul Mukminin Zainab bintu Jahsy yang paling banyak bersedekah di antara para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha yang gemar membuat sesuatu kemudian hasilnya dia sedekahkan, dan masih banyak lagi.

Melalui biografi yang membeberkan kisah hidup para sahabat ini, mereka akan mengenal sosok mulia para sahabat radhiyallahu ’anhum. Di samping itu, mereka akan mendapatkan teladan dari kisah yang mereka baca. Diharapkan, mereka akan bisa meniru kedermawanan para sahabat radhiyallahu ’anhum.

Yang tak kalah pentingnya adalah teladan kita sebagai orangtua. Seorang anak yang melihat orangtuanya senantiasa memberikan kebaikan pada orang-orang yang ada di sekelilingnya, akan lebih mudah dibiasakan untuk bersifat dermawan. Diiringi pula doa kebaikan kita untuk mereka, agar Allah Subhanahu wa Ta’ala jauhkan mereka dari sifat-sifat yang yang tercela dan menghiasi mereka dengan sifat-sifat yang mulia.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Baca Selengkapnya »»

Senin, 20 April 2009

Ummu Habibah binti Abi Sufyan


Ummu Habibah binti Abi Sufyan

Alhamdulillah kita masih diberi Alloh ta`ala kesempatan bertemu lagi dengan kisah sahabat wanita, insya Alloh kalian anak-anak yang semoga diberi nikmat oleh-Nya dapat mengambil ibrah dai kisah istri nabi berikut...

Ketahuilah oleh kalian wahai anak-anak..kelebihan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan. Dan Ummu Habibah telah berhijrah sebanyak 2 kali, ke Habasyah dan Madinah. Beliau Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerosulan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan nama Romlah binti Shokhar bin Harb bin Umayyah bin A`bdi Syams. Ayah beliau dikenal dengan julukan Abu Sufyan dan ibunya bernama Shofiyyah binti Abil `Ash bin Umayyah bin `Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat nabi kita ,yaitu `Utsman bin `Affan . .

Ketika beliau sudah beranjak dewasa `Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Sedang `Ubaidillah tsendiri erkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Nabi `Ibrohim. `alaihi salam.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, dan tidak menyembah berhala. Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru. Mendengar kabar itu, hati `Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya untuk memeluk Islam bersamanya.

Melihat da`wah tauhid Nabi Muhammad yang berkembang, kaum Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rosulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijroh ke Habasyah. Di antara mereka terdapat `Ubaidillah dan istrinya. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Saat itu Ummu Habibah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi beluai lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari sinilah beliau dikenal dengan nama Ummu Habibah.

Wahai anak-anak di jalan Alloh suatu waktu Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Alloh, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya `Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”

Rosululloh halallahu ‘alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam,selau memeikirkan dan mendo`akan para sahabat beliau yang berada di makkah dan habsyah . Ketika di Madinah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan `Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya. Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rosululloh akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrohah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Kholid bin Sai`d bin `Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrohah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersama Syarohbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah. Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rosulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi shalallahu ‘alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

Rosulululloh mengutus `Amr bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk hijroh ke Madinah dan untuk meminang Ummu Habibah untuk beliau. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khoiibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasululloh menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shofiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khoibar.

Anak-anak yang semoga sabar ketahuialh kaum Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Untuk itu, Rasulullah ingin menaklukkan Makkah. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan untuk merundsingkan perdamaian yang telah mereka langgar sendiri dengan Rosululloh. Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rosululloh, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah. Lalu saat itulah Abu Sufyan dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rosululloh, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Makkah telah gagal.

Setelah Rosululloh wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Alloh Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian `1Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir `Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika berbeda dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rosululloh bersabda,

“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Alloh akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rosulullah shalallahu ‘alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)

Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijroh dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rosululloh yang lain.
Demikianlah anak-anak tercinta sekilas kisah istri beliau Ummu Habibah yang selalu sabar dan istiqomah diatas addin ini. semoga kita dimudahkan oleh Robb kita untuk juga begitu. Amin.

Baca Selengkapnya »»

Apa hukum menggunakan adzan dan qira’ Alquran (murotal) dalam alarm/nada dering telepon (handphone) sebagai pengganti musik?

Apa hukum menggunakan adzan dan qira’ Alquran (murotal) dalam alarm/nada dering telepon (handphone) sebagai pengganti musik?


Berkata Al-Allamah Syaikh Shalih Bin Fauzan Al-Fauzan: Hal ini merupakan penghinaan atau termasuk merendahkan (penyalahgunaan) terhadap adzan, zikir, dan Alquran. Jadi, tidak seharusnya menjadikannya sebagai alarm (ring tones). Alquran tidak boleh dijadikan sebagai alarm/nada dering.

Jika dikatakan: “Ini lebih baik daripada musik!”

Bantahlah: “Ya, apakah kamu terpaksa dengan musik?! Tinggalkan musik dan taruhlah sesuatu yang ada sebagai ring tone, seperti bunyi normal. Sesuatu yang bukan mengandung musik ataupun yang mengandung Alquran. Sesuatu yang sederhana sebagai bunyi dering.


Fatwa Shaykh Shalih al-Fawzan dari kaset berjudul: Liqa’ Maftuh ma’a Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (hafidhahullah) tanggal 10-23-1426 Hijriah.sumber;www.antosalafy.wordpress.com

Baca Selengkapnya »»

kayu Ajaib

Kayu Ajaib

Mungkin kita biasa melihat atau mendengar istilah “kayu ajaib” dalam cerita fiktif atau realita nyata. Kayu ajaib identiknya digunakan oleh para tukang sihir yang terlaknat. Namun “kayu ajaib” dalam tulisan kali ini adalah kayu siwak yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat.Di antara keajaiban kayu siwak, ia mengandung banyak zat-zat yang berfungsi bagi kesehatan gigi, dan mengandung aroma yang mengharumkan bau mulut, walau tak memakai sikat gigi. Silakan coba sendiri; banyak kok dijual dimana-mana.


Lebih ajaib lagi, “kayu ajaib” alias siwak ini bisa mendatangkan ridho Allah -Azza wa Jalla-. Subhanallah, alangkah ajaibnya kayu siwak ini. Mudah didapatkan, ringan dibawa, setiap saat bisa digunakan, murah harganya, oh ternyata bisa mendatangkan ridho Allah. Tak heran jika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda,

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak adalah pembersih bagi mulut; sesuatu yang membuat Allah ridho”. [HR.Ahmad dalam Al-Musnad (6/47), Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm (1/76) & Musnad-nya (41), An-Nasa’iy dalam Kitab Ath-Thoharoh (5), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (134, 136, dan 137), Syu’abul Iman (2118 & 2777). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (1/105/no.66)]

Al-Allamah Abul Hasan Nuruddin As-Sindiy-rahimahullah- berkata ketika mengomentari hadits ini,“Jika anda bertanya,”Bagaimana bisa siwak menjadi sebab Allah ridho?”, maka aku katakan,”Sebab melakukan sesuatu mandub(sesuatu yang hukumnya sunnah)bisa mendatangkan pahala; sebab siwak adalah pedahuluan bagi shola, sedang sholat adalah munajat(percakapan) dengan Allah. Tak diragukan lagi bahwa orang harum bau mulutnya akan dicintai oleh orang diajak bercakap”. [Lihat Hasyiyah As-Sindiy (1/17), cet. Dar Al-Ma’rifah]

Jadi, siwak yang membuat mulut kita harum, dan bersih merupakan amalan mandub (yang dianjurkan) bisa mendatangkan pahala. Sedang orang yang mendapat pahala tentunya karena ia melakukan suatu perbuatan yang diridhoi oleh Allah.

Pembaca yang budiman, demi meraih segudang keutamaan tersebut, ada baiknya kita menghiasi diri kita dengan menggunakan siwak dalam beberapa kondisi berikut:

* Ketika Hendak Sholat

Ketika seorang hendak bermunajat dengan Allah dalam sholatnya, maka ia dianjurkan untuk memakai pakaian yang layak, dan membersihkan seluruh badannya dari najis, dan bau-bau yang mengganggu. Sebab malaikat yang mendengar, dan mencatat amal sholat kita akan terganggu.

Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (makan) bawang merah, dan bawang bakung. Kamipun dikuasai oleh perasaan butuh (kepadanya), maka kami akhirnya makan bawang. Maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ الْمُنْتِنَةِ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ الْإِنْسُ

“Barang siapa yang memakan pohon (tanaman) yang busuk ini, maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat terganggu oleh sesuatu yang mengganggu manusia”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Masajid (1252)]

Jadi, seorang yang ingin mendatangi masjid, maka hendaknya ia membersihkan mulutnya dari segala bau dengan menggunakan siwak atau yang bisa membersihkan gigi. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Andai aku tak (khawatir) akan memberatkan ummatku atau manusia, maka aku akan perintahkan (wajibkan) mereka bersiwak setiap kali hendak sholat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Jum’ah (847), Muslim dalam Ath-Thoharoh (588), Abu Dawud dalam Ath-Thoharoh (46), An-Nasa’iy dalam Al-Mawaqit (533), dan Ibnu Majah dalam Ash-Sholah (690)]

Hadits ini menurut lahiriahnya menunjukkan bahwa semua orang dianjurkan bersiwak, baik ia berpuasa atau tidak. Karenanya, dalam menjelaskan faedah hadits ini, Al-Imam Al-Bukhoriy-rahimahullah- berkata dalam kitab Shohih-nya (2/682), “Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (dalam hadits ini) tidaklah mengkhususkan orang yang berpuasa dari yang tak puasa”.

Maksud beliau bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah melarang orang yang berpuasa untuk bersiwak sebagaimana halnya orang yang tak puasa boleh menggunakan siwak.

Al-Hafizh Ibnu KhuzaimahAn-Naisaburiy -rahimahullah- berkata dalam mengomentari hadits ini, “Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengecualikan orang yang tak berpuasa (dalam hal bolehnya bersiwak), tanpa yang berpuasa. Jadi, di dalamnya terdapat petunjuk bahwa bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika hendak sholat memiliki keutamaan seperti halnya orang yang tak berpuasa”.[Lihat Shohih Ibnu Khuzaimah (3/247)]

Apa yang dinyatakan oleh Ibnu Khuzaimah -rahimahullah-, juga telah dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy-rahimahullah- dalam kitabnya At-Tamhid (7/198) saat beliau berkata, Dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bolehnya bersiwak pada setiap waktu berdasarkan sabdanya, “setiap kali hendak wudhu”, dan “setiap kali hendak sholat”. Sedang sholat wajib pada kebanyakan waktu, baik pada waktu malam, siang, maupun shubuh”.

* Ketika Hendak Wudhu’

Diantara waktu yang amat dianjurkan bagi kita untuk menggunakan siwak agar mulut kita bersih dan harum, ketika kita mau melakukan wudhu’.

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوْءِ وَلَأَخَّرْتُ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ شَطْرِ اللَّيْلِ

“Andai aku tak (khawatir) akan memberatkan ummatku, maka aku akan perintahkan (wajibkan) mereka bersiwak setiap kali hendak sholat, dan akan kutangguhkan sholat Isya’ ke sepertiga malam atau tengah malam”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (7406), Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (140), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (1787), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (1531), Ath-Thohawiy dalam Syarh Al-Ma’aniy (228), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2106), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (1238), Al-Abihaqiy dalam Al-Kubro (144), dan dalam Syu’abul Iman (2769), dan Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqo (63). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Ihsan (2/250)]

* Ketika Hendak Membaca Al-Qur’an

Seorang hamba ketika membaca kitab suci Al-Qur’an Al-Karim, maka dianjurkan agar ia menyucikan diri, baik pada pakaian, tempat, dan badan (utamanya mulut) dari segala najis, dan kotoran yang mengganggu. Sebab seorang yang membaca Al-Qur’an Al-Karim ibaratnya orang yang bermunajat, dan berbisik dengan Allah Robbul alamin. Itulah hikmahnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menganjurkan hal itu dalam hadits ini:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ فَلَا يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلَا يَقْرَأَ آيَةً إِلَّا كَانَتْ فِيْ جَوْفِ الْمَلَكِ

“Sesungguhnya seorang hamba jika ia bangkit melaksanakan sholat, maka ia akan didatangi oleh seorang malaikat seraya berdiri di belakangnya untuk mendengarkan Al-Qur’an. Senantias ia menyimak Al-Qur’an mendekat sehingga malaikat itu meletakkan mulutnya pada mulut orang yang sholat itu.Maka seorang hamba tidaklah membaca Al-Qur’an kecuali bacaan Qur’annya dalam diri malaikat itu”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (1/38), dan Adh-Dhiya’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaroh (1/201). Lihat Ash-Shohihah (1213)]

Menurut riwayat lain, diakhir hadits itu, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

فَطَهِّرُوْا أَفْوَاهَكُمْ لِلْقُرْآنِ

“…maka sucikanlah mulut kalian untuk Al-Qur’an”. [HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad (603). Dikuatkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (3/215)]

Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy-rahimahullah- berkata ketika menjelaskan adab-adab yang perlu dijaga oleh orang yang membaca Al-Qur’an, “Seyogyanya jika seseorang hendak membaca Al-Qur’an agar ia membersihkan mulutnya dengan siwak, dan selainnya. Cara memilih siwak,hendaknya ia berasal kayu sugigi; boleh juga dari seluruh jenis kayu, dan sesuatu yang dapat membersihkan mulut, seperti secarik kain yang kasar, sikat gigi, dan selain itu”. [Lihat At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Qur’an (hal. 37)]

* Ketika Hendak Masuk Rumah

Diantara bentuk perhatian Islam kepada kebersihan, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mencontohkan kepada ummatnya agar ketika hendak masuk rumah dan menemui istri dan anak-anaknya, seseorang terlebih dahulu membersihkan mulutnya. Jika perkara ini dilazimi, niscaya akan melahirkan mawaddah wa rahmah di antara penghuni rumah tangga. Terkadang seseorang dijauhi oleh orang lain, karena mulutnya yang bau.

Syuraih bin Hani’ Al-Haritsiy-rahimahullah- bertanya kepada A’isyah -radhiyallahu ‘anha-, “Perkara apakah yang dimulai oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika ia mau masuk ke rumahnya?” A’isyah berkata, “(Beliau memulai) dengan siwak”.[HR. Muslim dalam Ath-Thoharoh (253), Abu Dawud dalam As-Sunan (51), An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (8), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan dalam As-Sunan (290)]

* Ketika Hendak Sholat Tahajjud

Seseorang ketika bangun dari tidurnya, ia akan mendapati perubahan pada bau mulutnya. Disinilah rahasianya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika bangun malam, beliau membersihkan giginya dengan kayu ajaib, yaitu siwak yang mengandung bahan yang mengharumkan gigi, walau tidak menggunakan pasta gigi.

Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ لِيَتَهَجَّدَ يَشُوْصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

“Dahulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika bangun untuk bertahajjud, maka beliau menggosok mulut (baca:gigi)nya dengan siwak”. [HR. Al-Bukhoriy (242, 849, & 1085),Muslim (255), Abu Dawud (55), An-Nasa’iy (2, & 1621-1624), dan Ibnu Majah (286)]

Al-Imam Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat anjuran bersiwak ketika bangun dari tidur, karena tidur menimbulkan perubahan mulut sebab adanya sesuatu yang naik ke mulut berupa uap lambung. Sedang siwak adalah alat pembersihnya. Itulah dianjurkan siwak ketika ada sesuatu yang mengharuskannya”. [Lihat Fathul Bari (1/356), cet. Dar Al-Ma’rifah]

Jadi, bersiwak ketika hendak sholat tahajjud adalah perkara yang dianjurkan; sebagai pelengkap dan penyempurna bagi ibadah seorang hamba. Seorang yang berbau mulutnya, karena belum bersiwak, maka akan terganggu oleh bau mulutnya. Inilah salah satu sebab yang menghilangkan khusyu’nya seseorang ketika sholat.

Para Pembaca yang budiman, inilah beberapa kondisi dianjurkan di dalamnya untuk bersiwak, dan membersihkan mulut. Namun ini bukanlah pembatasan, sebab seseorang dianjurkan bersiwak ketika terjadi perubahan bau mulut.

* Perhatian

Anjuran menggunakan siwak untuk membersihkan gigi, bukanlah berarti kita dilarang menggunakan sikat gigi atau yang lainnya dalam membersihkan gigi. Bahkan semua itu boleh. Namun tentunya yang lebih utama adalah melazimi siwak, karena ia memiliki fadhilah, yaitu membuat Allah ridho karena mengikuti sunnah Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .

Kami jelaskan demikian, karena sebagian orang jahil menyangka bahwa Islam melarang kita menggunakan discovery (penemuan baru) yang mubah.


Sumber: http://www.almakassari.com

Baca Selengkapnya »»

Rabu, 08 April 2009

Doa Melihat Bulan Sabit/Hilal

Doa Melihat Bulan Sabit/Hilal
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ الله
إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : « اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ »

Dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata : Dulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat Al-Hilal beliau mengucapkan doa :

اللهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِ
وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ

“Allahu Akbar, Ya Allah terbitkanlah al-hilal kepada kami dengan keamanan dan iman, dengan keselamatan dan Islam, dan taufiq kepada apa yang Engkau cintai dan Engkau Ridhai. Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.”

[HR. At-Tirmidzi (3451), Ad-Darimi (1741), Al-Hakim (II/285) dari shahabat Thalhah bin ‘Ubaidillah. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1816. diriwayatkan pula oleh Ad-Darimi (1740) dari shahabat Ibnu ‘Umar. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Kalimith Thayyib no. 162.]
Sumber :www.assalafy.org

Baca Selengkapnya »»

Agungkan Ilmu dalam Hatimu

Agungkan Ilmu dalam Hatimu
Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran


Dunia, memang masih menjadi orientasi utama banyak orang. Tak heran, harta yang berlimpah, jabatan, popularitas, dan berbagai bentuk kesenangan lainnya menjadi buruan manusia siang malam. Padahal dunia adalah fatamorgana, kesenangan yang dirasakan akan menyisakan kehampaan, kepedihan, dan keletihan. Hanya ilmu agama yang bisa meredam ambisi manusia terhadap sifat serakah terhadap dunia.


Siapa yang tak mengharapkan anaknya menjadi seorang yang punya kedudukan? Sepertinya, hampir tak ada orangtua yang tak memiliki bayangan cita-cita setinggi langit untuk anak mereka. Biasanya, sejak si anak masih dalam buaian, mereka telah menyimpan berbagai keinginan dan harapan. Pokoknya, yang terbaiklah yang ada dalam angan-angan. “Semoga anakku menjadi ‘orang’, semoga memiliki masa depan yang lebih baik dari pada ibu bapaknya, semoga jadi orang yang paling ini, paling itu ….” dan sejuta lambungan ’semoga’ yang lainnya.

Tak berhenti sampai di situ, bahkan segala yang dapat mendukung tercapainya cita-cita itu pun turut disediakan sejak dini. Mulai dari tabungan biaya pendidikan, sampai prasarana yang diperkirakan menunjang pun disiapkan baik-baik. Berbagai pendidikan prasekolah pun diikuti agar melicinkan jalan si anak memperoleh cita-citanya atau justru cita-cita orangtuanya.

Namun di balik segala cita-cita, ada sebuah kemuliaan yang seringkali justru terluputkan, bahkan diremehkan oleh banyak orangtua. Padahal inilah kemuliaan hakiki yang akan didapatkan oleh si anak jika dia benar-benar meraihnya. Kemuliaan yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia:

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا العِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.”(Al-Mujadilah: 21)

Demikianlah, dalam kalam-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang beriman lagi berilmu di atas orang yang beriman namun tidak berilmu. Ketinggian derajat akan diperolehnya di dunia berupa kedudukan yang tinggi serta reputasi yang baik, juga akan dicapai pula di akhirat berupa kedudukan yang tinggi di dalam surga. (Fathul Bari 1/186)

Mengapa tak cukup kedudukan dan kekayaan sebagai bekal? Bukankah dengan itu anak akan mendapatkan segalanya? Nampaknya benar bila kita tak mengkaji dalam-dalam. Namun sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan, sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِي مَالِهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ وَهُمَا فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخْبِطُُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لاَ يَتَّقِي فِيْهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيْهِ رَحِمَهُ وَلاَ يَعْلَمُ لِلهِ فِيْهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Dunia itu diberikan kepada empat golongan: (1) seorang hamba yang Allah anugerahi harta dan ilmu, maka dia pun bertakwa kepada Rabbnya dalam hal hartanya, menggunakan hartanya untuk menyambung tali kekerabatan dan mengetahui bahwa Allah memiliki hak dalam hartanya itu, maka dia berada pada derajat yang paling mulia di sisi Allah. (2) Dan seorang hamba yang Allah karuniai ilmu namun tidak diberi harta, dia adalah seorang yang benar niatnya. Dia katakan, ‘Seandainya aku memiliki harta, aku akan beramal seperti amalan Fulan’, maka dengan niatnya itu pahala mereka berdua sama. (3) Juga seorang hamba yang Allah beri harta namun tidak dikaruniai ilmu, sehingga dia gunakan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa kepada Rabbnya dalam hartanya itu, tidak menggunakannya untuk menyambung tali kekerabatan, dan tidak pula mengetahui ada hak Allah dalam hartanya, maka dia berada pada derajat yang paling hina di sisi Allah. (4) Dan seorang hamba yang tidak Allah beri harta maupun ilmu, lalu dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Fulan’, maka dengan niatnya itu dosa mereka berdua sama.” (HR. At-Tirmidzi no. 2325, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Dengan begitu, jelaslah bahwa sekedar bekal harta takkan cukup bagi seseorang. Perlu sesuatu yang lebih penting daripada itu, yang justru nanti akan menyelamatkannya dari kerusakan dalam mengelola harta yang dimilikinya. Itulah ilmu. Akan berbeda tentunya orang yang mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang yang tidak mengetahuinya, bagaikan perbedaan siang dan malam, sebagaimana Allah firmankan dalam Tanzil-Nya:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Az Zumar: 9)

Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menasehatkan tentang keutamaan ilmu dibandingkan dengan harta:

العِلْمُ خَيْرٌ مِنَ الْمَالِ، العِلْمُ يَحْرُسُكَ وَأَنْتَ تَحْرُسُ الْمَالَ، العِلْمُ يَزْكُو عَلَى العَمَلِ وَالْمَالُ تُنْقِصُهُ النَّفَقَةُ، وَمَحَبَّةُ العَالِمِ دِيْنٌ يُدَانُ بِهِ، العِلْمُ يُكْسِبُ العَالِمَ الطَّاعَةَ فِي حَيَاتِهِ، وَجَمِيْلَ اْلأُحْدُوْثَةِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَصَنِيْعَةُ الْمَالِ تَزُوْلُ بِزَوَالِهِ، مَاتَ خُزَّانُ اْلأَمْوَالِ وَهُمْ أَحْيَاءُ وَالْعُلَمَاءُ بَاقُوْنَ مَا بَقِيَ الدَّهْرُ، أَعْيَانُهُمْ مَفْقُوْدَةٌ وَأَمْثَالُهُمْ فِي القُلُوْبِ مَوْجُوْدَةٌ

“Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena ilmu akan menjagamu sementara harta harus engkau jaga. Ilmu akan terus bertambah dan berkembang dengan diamalkan sementara harta akan terkurangi dengan penggunaan. Dan mencintai seorang yang berilmu adalah agama yang dipegangi. Ilmu akan membawa pemiliknya untuk berbuat taat selama hidupnya dan akan meninggalkan nama yang harum setelah matinya. Sementara orang yang memiliki harta akan hilang seiring dengan hilangnya harta. Pengumpul harta itu seakan telah mati padahal sebenarnya dia masih hidup. Sementara orang yang berilmu akan tetap hidup sepanjang masa. Jasad-jasad mereka telah tiada, namun mereka tetap ada di hati manusia.” (dinukil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 13-14)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu pernah pula mengatakan:

بَابٌ مِنَ الْعِلْمِ يَتَعَلَّمُهُ الرَّجُلُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Satu bab ilmu agama yang dipelajari oleh seseorang lebih baik baginya daripada dunia seisinya.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 18)

Ayat-ayat di dalam Al-Qur`an, maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan kemuliaan orang yang berilmu amat berbilang banyaknya. Ayat dalam surah Al-Mujadilah di atas adalah salah satunya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali ilmu:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah: Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu padaku.” (Thaha: 114)

Ash-Shadiqul Mashduq (yang jujur dan dibenarkan kabar yang dibawanya), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa orang berilmu akan mendapatkan kebaikan hakiki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini disampaikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ketika berkhutbah:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan, maka Allah akan faqihkan dia dalam agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan ilmu dan memahami agama serta berisi anjuran untuk mendapatkannya. Karena semua ini akan menuntun seseorang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 7/127)

Dari sini bisa dipahami pula bahwa orang yang tidak memahami agama –dalam arti mempelajari kaidah-kaidah Islam dan segala yang berkaitan dengannya– berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dari kebaikan. (Fathul Bari, 1/217)

Inilah yang dicita-citakan oleh para pendahulu kita yang shalih. Mereka tidak bercita-cita agar anak mereka kelak menjadi hartawan atau penguasa, karena mereka sangat memahami, kemuliaan dan kebaikan mana yang hakiki. Oleh karena itu, mereka senantiasa berupaya agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang berhias dengan adab yang tinggi dan berbekal dengan ilmu. Mereka merasakan kebanggaan bila si anak memiliki pemahaman terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini lebih dari kebanggaan apa pun, dan merasakan penyesalan bila si anak terlewatkan dari keutamaan seperti ini.

‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk duduk di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama orang-orang dewasa dari kalangan para sahabat. Ibnu ‘Umar adalah peserta termuda dalam majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. ‘Umar pun merasa bangga bila sang putra memiliki ilmu lebih daripada yang dimiliki orang lain yang ada di situ. Peristiwa ini dikisahkan sendiri oleh ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ، وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاهُ، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرُ: لأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا

“Kami dulu pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan padaku tentang sebuah pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘Waktu itu terlintas dalam benakku bahwa itu adalah pohon kurma. Namun aku melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan pula untuk menjawabnya. Ketika para shahabat tidak menjawab sedikit pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu pohon kurma.’ Saat kami telah bubar, kukatakan pada ayahku ‘Umar, ‘Wahai ayah, demi Allah, sesungguhnya tadi terlintas dalam benakku, itu adalah pohon kurma.’ Ayahku pun bertanya, ‘Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?’ Ibnu ‘Umar menjawab, ‘Aku melihat anda semua tidak berbicara sehingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu.’ Kata ‘Umar, ‘Sungguh kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!’.” (HR Al-Bukhari no. 4698)

Para pendahulu kita amat bersemangat agar anak-anak mereka memiliki pendidik semenjak kecil dan benar-benar berpesan pada si anak agar bersemangat belajar. Mereka pun betul-betul perhatian dengan memberikan sarana yang akan digunakan anak mereka untuk menuntut ilmu. Seperti ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berpesan kepada pendidik putranya: “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits dan jauhkan dia dari syi’ir.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 30)

Banyak gambaran dalam kehidupan salafush shalih yang melukiskan semangat mereka terhadap pendidikan anak yang dilatari dan dilandasi dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ajarkan pada si anak tentang beratnya perjalanan menuntut ilmu dengan segala aral merintang. Bahkan mereka tak segan kehilangan harta untuk perjalanan anak-anak mereka menuntut ilmu agar kelak dapat memberikan manfaat pada diri si anak sendiri dan lebih dari itu, pada Islam dan kaum muslimin.

‘Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi rahimahullahu menceritakan tentang kesungguhan pengorbanan ayahnya, “Ayahku pernah memberiku uang seratus ribu dirham sambil berkata, ‘Pergilah untuk menuntut ilmu, dan aku tak ingin melihat wajahmu kecuali setelah engkau menghapal seratus ribu hadits!’.” ‘Ali pun pergi jauh untuk menuntut ilmu, kemudian pulang untuk mengajarkan ilmu yang didapatkannya, sampai-sampai yang hadir di majelisnya lebih dari tigapuluh ribu orang. (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)

Begitu pula Al-Mu’tamir bin Sulaiman mengisahkan tentang pesan sang ayah, “Ayahku pernah menulis surat padaku saat aku berada di Kufah, ‘Belilah buku dan catatlah ilmu, karena harta itu akan musnah, sementara ilmu itu akan kekal’.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 32)

Bila ilmu dimiliki oleh seseorang, maka kehormatan dan kemuliaan akan datang tanpa diundang dan dicari-cari.Tak memandang apakah dia keturunan bangsawan atau seorang budak, ataukah dia seorang rupawan atau tidak. Memang, bila akhirat menjadi tujuan seseorang, maka dunia pun akan Allah Subhanahu wa Ta’ala datangkan kepadanya. Sebaliknya, bila dunia yang menjadi cita-citanya, maka kehinaan semata yang akan dia dapatkan. Demikian dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah akan jadikan kekayaan dalam hatinya, dan Allah kumpulkan baginya urusannya yang tercerai-berai, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan tidak suka kepadanya. Dan barangsiapa yang dunia menjadi cita-citanya, Allah akan jadikan kefakiran di depan matanya, Dia cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan mendatanginya kecuali hanya apa yang telah ditentukan baginya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2465, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: Shahih)

Ibnul Jauzi rahimahullahu pernah menasihati putranya dan menganjurkannya untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu akan mengangkat orang yang hina. Banyak kalangan ulama yang tidak memiliki nasab yang bisa dibanggakan dan tidak punya wajah yang rupawan.”

Bahkan ‘Atha` bin Abi Rabah rahimahullahu adalah seorang yang berkulit hitam dan berwajah jelek, namun didatangi oleh Khalifah Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua orang putranya. Mereka duduk di hadapan ‘Atha` untuk bertanya masalah manasik haji. ‘Atha` pun menjelaskan pada mereka bertiga sambil memalingkan wajahnya dari mereka. Sang Khalifah berkata kepada kedua putranya, “Bangkitlah, dan jangan lalai dan malas untuk mencari ilmu. Aku tidak akan pernah melupakan kehinaan kita di hadapan budak hitam ini.” (dinukil dari Waratsatul Anbiya`, hal. 33)

Kalau demikian kenyataannya, tentunya orangtua tak akan membiarkan angan-angannya melambung tanpa arah. Mengantarkan anak menjadi seorang yang mengerti tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan segala seluk-beluknya berarti mengantarkan anak menjadi seorang yang akan dimuliakan di dunia dan di akhirat.

Oleh karena itu, hendaknya orangtua selalu berusaha membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu, menekankannya, dan menyemangati mereka agar bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih. Karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berujung jannah-Nya yang kekal abadi. Benarlah janji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya dengan ilmu tersebut, jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber : www.asysyariah.com

Baca Selengkapnya »»